Selasa, 04 Desember 2012

Tuan Fallacia


Cerpen: Chandrawily
Kisah lain dari cerpen "Nyonya Fallacia" Agus Noor.          

            
            Sebelum menikahi istrinya, Tuan Fallacia memang gemar memelihara kucing dan semua orang di sekelilingnya tahu hal itu. Hanya saja rasa sayang yang ia berikan kepada kucing-kucingnya tergolong aneh. Tuan Fallacia seperti mengabdikan hidupnya, bekerja setiap hari hanya untuk menghidupi puluhan kucing yang berkembang biak di rumahnya. Di beberapa malam, para tetangga akan mendengar jerit kucing betina yang begitu nyeri, lama-lama suaranya terdengar seperti tersedak mirip suara kucing yang hendak muntah. Sebagian orang berpikir bahwa Tuan Fallacia kawin dengan kucing. Lagian, kucing-kucing betina di rumahnya itu tak ada yang tak hamil, semuanya berperut besar, terlihat ketika sesekali mereka keluar mencari pasir untuk mandi atau membuang kotoran. Dan kucing-kucing lainnya –yang setiap hari semakin bertambah banyak— itu dipercayai warga sebagai keturunan Tuan Fallacia. Setelah ia menikah dengan istrinya—yang manusia, kecintaannya kepada kucing tak pernah berubah. Tuan dan Nyonya Fallacia menikah siri dan mengundang sedikit warga untuk jadi saksi. Tak ada makan-makan, tak ada pesta atau perayaan besar apapun. Mereka berdua memiliki sifat yang sama, selain sama-sama suka kucing, mereka tak senang bergaul, setiap hari hanya berdiam di rumah. Nyonya Fallacia hanya pergi ke pasar dekat komplek seminggu sekali, membeli daging dan ikan dalam jumlah banyak. Sebenarnya sepasang suami-istri ini tak mengganggu warga, hanya saja kucing-kucing mereka itu selalu bikin onar. Sebagian dari mereka sering masuk ke rumah warga dan mencuri makanan, yang lainnya mengacak-acak taman dengan membuang kotoran disana. Dan yang lebih mengganggu, kucing-kucingnya itu tak pernah diam, mereka seperti tak tidur berhari-hari. Tiap malam selalu mengeong, entah kelaparan entah sedang dizinahi tuannya. Oleh karena itu warga sekitar bersepakat mengusirnya dari kawasan tempat tinggal dia jika pasutri itu tak segera membuang semua hewan peliharaan mereka. Kabar terakhir yang kudengar, Tuan Fallacia memilih pergi bersama istri dan membawa kucing-kucingnya, mereka tinggal di sebuah rumah tua, di depan komplek, entah apa namanya. Rumahnya yang paling depan.
            Kurang lebih seperti itu cerita Rois, mantan tetangga mereka yang tiba-tiba meninggal kena busung lapar. Tubuhnya tinggal tulang, gigi-giginya tumbuh lebih maju hingga lewat batas bibir. Padahal Rois dikenal sebagai buruh yang penghasilannya cukup untuk menghidupi dirinya sendiri. Rois juga tak menikah dan tak punya anak, kedua orang tuanya sudah lama mati. Ia hanya sebatang kara dan tak terbebani apapun. Beberapa warga menduga-duga bahwa Rois dikutuk kucing-kucing peliharaan Tuan Fallacia, karena ia salah satu yang paling bersemangat mengerahkan warga untuk membenci dan mengusir lelaki yang malang itu—jika tak mau disebut aneh.
            Aku menyeruput sedikit kopiku yang sudah dingin, sedingin angin yang tiba-tiba saja hinggap di keseluruhan tengkuk dan pergelangan tangan.
            “Kurasa kita tak boleh sembarangan menulis kisah hidup Tuan Fallacia,” kataku kepada Mey.
            “Tentu saja tidak. Kita merangkum keseluruhan cerita orang dekatnya,” jawab Mey.
            “Tapi cerita-cerita itu belum tentu benar. Sudah berapa narasumber yang diceritakan mati setelah memberikan informasi?”
            “Itu hanya akal-akalan warga saja. Tak ada yang mati, apalagi matinya karena dibunuh setan kucing. It’s a stupid joke!”
            “Tapi..”
            “Rhea, kita tetap akan menuliskan kisah ini dengan horor, sangat horor!” Mey terlihat bersemangat.
Ah! Semua wartawan majalah misteri memang begitu, seenaknya saja mengutak-atik hidup orang lain tanpa berdasarkan kebenaran. Itulah sebabnya aku resign dari tempat kerjaku, dan sekarang bekerja sebagai teller di salah satu Bank Swasta.
            Semenjak perdebatan kecil kami hari itu, Mey tak pernah lagi menghubungiku. Sahabat sekaligus mantan rekan kerjaku itu mungkin benar-benar marah. Pagi ini aku kedatangan nasabah yang sangat aneh, ia menabungkan uangnya senilai 666.000 rupiah. Bukan soal nominal uang itu yang dipercaya banyak orang sebagai angka kematian, tapi penampilan si nasabah ini yang aneh. Ia pria tua berpakaian serba hitam, berkatamata bulat yang disekitar bingkainya berwarna kuning, pertanda barang itu sangat antik. Ia menghampiriku setelah kami mendengar nomor antriannya disebutkan. Aku menyapanya seperti biasa dan ia hanya menatapku tanpa senyum, tanpa kebencian, tanpa perasaan sedih atau apapun. Aku sendiri bingung bagaimana meng-ekspresikan wajahnya atau menebak apa yang sedang ia pikirkan. Pria itu menyerahkan sejumlah uang dan buku tabungan, aku memprosesnya, selesai lalu mengucapkan terimakasih. Ia masih diam sampai akhirnya tangan kanannya meletakkan sebuah majalah di mejaku, lalu pergi.

Tuan Fallacia meninggal di rumahnya pada Kamis malam, tepat di usia ke-66. Tak ada yang datang melayat, tak ada bunyi toa yang digaungkan untuk menyampaikan berita duka. Kamar itu benar-benar sunyi. Kucing-kucing yang biasanya berisik kini seperti kehilangan lidahnya. Mereka berkumpul melingkari mayat tuannya, menangis hingga menitikkan air mata. Nyonya Fallacia yang melihat itu merasa malu, bagaimana kucing-kucing bisa sangat berduka, sementara ia, istrinya, tak mampu menangis setulus itu.
Tak ada yang tahu apa yang terjadi setelahnya. Menurut cerita warga, mereka kerap melihat Tuan Fallacia berdiri di depan rumahnya sambil menggendong seekor kucing, tubuhnya segar, tak terlihat bahwa ia sedang sakit. Tuan Fallacia juga sering terlihat sedang duduk berbincang dengan sesuatu. Seorang warga melihatnya. Rumah itu dalam keadaan terang dengan gorden jendelanya warna putih, jadi apapun yang terjadi dibalik jendela pasti akan sangat jelas terlihat dari luar.
Sebuah kabar burung mencuat lagi ke permukaan. Mereka bilang, Tuan Fallacia memang sudah meninggal dan mayatnya diawetkan oleh istrinya sendiri. Perempuan yang juga misterius itu sangat mencintai suaminya, dan terpaksa mencintai kucing-kucing peliharaan suaminya. Jika ada yang mati, ia akan mengawetkannya, membiarkan hewan-hewan itu kaku bergelimpangan di ruang tamu, meja makan atau di dapur.
Sebuah kabar lain menyebutkan bahwa Tuan Fallacia bangkit pada malam-malam tertentu, ia menjerit kesakitan ketika malaikat kematian sedang mencabut nyawanya. Malaikat itu datang berkali-kali, karena nyawa Tuan Fallacia ternyata tak cuma satu, melainkan sembilan.

Aku terdiam.
Udara dingin hinggap ke keseluruhan kepalaku. Artikel ini belum selesai. Mey tidak menyelesaikannya.
Degup jantung berdetak cepat, bahkan terasa sampai ke pergelangan tanganku. Suara langkah kaki yang lalu lalang seperti mengiramakan sebuah lagu. Di depanku, staf-staf yang sedang beristirahat untuk makan siang saling menjentikkan gelas-gelas mereka, semuanya berpakaian serba hitam. Suara tawa terdengar satu-satu dan berganti-gantian, menjadi gema yang mengerikan. Kami sedang melakukan perayaan, untuk seseorang yang baru saja mati.
Share:

2 komentar: