Kamis, 30 Juli 2015

Sepotong Kisah



Panggilan ke-enam dan kamu sepertinya tidak sedang berada di sana --di dekat telepon genggangmu, atau kamu terlalu sibuk sampai tak mendengar ia berdering dan atau kamu mengetahuinya tapi tak kuasa untuk menjawab panggilan dariku. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi, seperti sekarang ini, ketika tiba-tiba seseorang datang kepadaku, masuk ke dalam hubungan kita.
Dua belas panggilan tak terjawab, tiga SMS berisi ajakan bertemu darimu baru sempat kubaca, terkirim sejak dua jam yang lalu. Aku sedang sibuk berbincang-bincang dengan seseorang yang baru saja kukenal beberapa hari lalu di Facebook. Dia lebih tampan darimu, lebih muda juga, lebih cepat tiba daripada kamu yang selalu berjanji tapi selalu terlambat –bahkan seringkali kamu tidak datang, menghilang begitu saja. Kami makan malam di restoran cepat saji sambil berbincang-binvang soal pekerjaan, tentang teknologi, juga masalah carut-marut pemerintahan di negara ini. Semua seperti aku dan kamu pada 3 tahun yang lalu, terasa nyaman, hangat dan menyenangkan.
Tiga tahun rasanya singkat saja, bagaikan baru kemarin –begitu kata orang-orang. Aku masih ingat benar peristiwa malam itu, hari dimana pertama kalinya kita bertemu, tidak jauh berbeda seperti cerita murahan di FTV anak remaja. Kamu datang lewat jam 12 malam, dan aku menyambutmu dengan perasaan senang bercampur malu-malu. Kemudian kita menelusuri jalanan sepi, singgah ke warung kopi, lalu kembali pulang. Sebelum berpisah, kita masih sempat memberikan pujian-pujian, dan beberapa ciuman. Esok harinya, kita sudah menjadi sepasang kekasih, sampai pada hari ini. Sesingkat itu.
Malam ini kita membuat janji bertemu, kita sudah merencanakannya sejak beberapa hari yang lalu, kita sudah mencatat tujuan mana saja yang akan kita singgahi; ke bioskop, lalu belanja keperluan mandi, kemudian makan kepiting di restoran favorit kita. Namun satu jam sebelum semua itu dimulai, aku mengirimkan pesan singkat berisi, “Maaf, rencana pergi hari ini kita tunda saja, ya. Ibu minta aku temani ke rumah keluarganya, ada hal penting dan harus selesai hari ini juga.”
“Oh. Oke. Besok gimana?”
“Iya. Sorry.”
“Nggak apa-apa. Salam buat Ibu ya.”
Entah bagaimana aku mendeskripsikan kamu, yang jelas, kamu tidak pernah terlihat marah atau kecewa ketika janji-janji bertemu kubatalkan. Kamu tidak pernah memberikan pilihan lain agar kita tetap bisa bertemu meski salah satu dari kita sedang sibuk. Mungkin ini hanya aku dan perasaanku yang terlalu berlebihan, atau aku hanya butuh liburan, atau hiburan.
“BEEP!” sebuah pesan singkat masuk di teleponku, dari seseorang yang baru saja kukenal beberapa hari lalu di Facebook.
            “Hai. Aku di depan rumah kamu, ya.. Jadi temani aku jalan, kan?”
            “Oke. Wait a minute.”
Aku bergegas keluar rumah, menghampiri dia dengan senyumnya yang bahagia.
“We had a beutiful magic love there..
  What a sad beautiful tragic love affair..”
Share:

0 komentar:

Posting Komentar