Cerpen: Chandrawily
Kisah lain dari cerpen "Nyonya Fallacia" Agus Noor.
Sebelum menikahi istrinya, Tuan Fallacia memang gemar memelihara kucing dan semua orang di sekelilingnya tahu hal itu. Hanya saja rasa sayang yang ia berikan kepada kucing-kucingnya tergolong aneh. Tuan Fallacia seperti mengabdikan hidupnya, bekerja setiap hari hanya untuk menghidupi puluhan kucing yang berkembang biak di rumahnya. Di beberapa malam, para tetangga akan mendengar jerit kucing betina yang begitu nyeri, lama-lama suaranya terdengar seperti tersedak mirip suara kucing yang hendak muntah. Sebagian orang berpikir bahwa Tuan Fallacia kawin dengan kucing. Lagian, kucing-kucing betina di rumahnya itu tak ada yang tak hamil, semuanya berperut besar, terlihat ketika sesekali mereka keluar mencari pasir untuk mandi atau membuang kotoran. Dan kucing-kucing lainnya –yang setiap hari semakin bertambah banyak— itu dipercayai warga sebagai keturunan Tuan Fallacia. Setelah ia menikah dengan istrinya—yang manusia, kecintaannya kepada kucing tak pernah berubah. Tuan dan Nyonya Fallacia menikah siri dan mengundang sedikit warga untuk jadi saksi. Tak ada makan-makan, tak ada pesta atau perayaan besar apapun. Mereka berdua memiliki sifat yang sama, selain sama-sama suka kucing, mereka tak senang bergaul, setiap hari hanya berdiam di rumah. Nyonya Fallacia hanya pergi ke pasar dekat komplek seminggu sekali, membeli daging dan ikan dalam jumlah banyak. Sebenarnya sepasang suami-istri ini tak mengganggu warga, hanya saja kucing-kucing mereka itu selalu bikin onar. Sebagian dari mereka sering masuk ke rumah warga dan mencuri makanan, yang lainnya mengacak-acak taman dengan membuang kotoran disana. Dan yang lebih mengganggu, kucing-kucingnya itu tak pernah diam, mereka seperti tak tidur berhari-hari. Tiap malam selalu mengeong, entah kelaparan entah sedang dizinahi tuannya. Oleh karena itu warga sekitar bersepakat mengusirnya dari kawasan tempat tinggal dia jika pasutri itu tak segera membuang semua hewan peliharaan mereka. Kabar terakhir yang kudengar, Tuan Fallacia memilih pergi bersama istri dan membawa kucing-kucingnya, mereka tinggal di sebuah rumah tua, di depan komplek, entah apa namanya. Rumahnya yang paling depan.
Kisah lain dari cerpen "Nyonya Fallacia" Agus Noor.
Sebelum menikahi istrinya, Tuan Fallacia memang gemar memelihara kucing dan semua orang di sekelilingnya tahu hal itu. Hanya saja rasa sayang yang ia berikan kepada kucing-kucingnya tergolong aneh. Tuan Fallacia seperti mengabdikan hidupnya, bekerja setiap hari hanya untuk menghidupi puluhan kucing yang berkembang biak di rumahnya. Di beberapa malam, para tetangga akan mendengar jerit kucing betina yang begitu nyeri, lama-lama suaranya terdengar seperti tersedak mirip suara kucing yang hendak muntah. Sebagian orang berpikir bahwa Tuan Fallacia kawin dengan kucing. Lagian, kucing-kucing betina di rumahnya itu tak ada yang tak hamil, semuanya berperut besar, terlihat ketika sesekali mereka keluar mencari pasir untuk mandi atau membuang kotoran. Dan kucing-kucing lainnya –yang setiap hari semakin bertambah banyak— itu dipercayai warga sebagai keturunan Tuan Fallacia. Setelah ia menikah dengan istrinya—yang manusia, kecintaannya kepada kucing tak pernah berubah. Tuan dan Nyonya Fallacia menikah siri dan mengundang sedikit warga untuk jadi saksi. Tak ada makan-makan, tak ada pesta atau perayaan besar apapun. Mereka berdua memiliki sifat yang sama, selain sama-sama suka kucing, mereka tak senang bergaul, setiap hari hanya berdiam di rumah. Nyonya Fallacia hanya pergi ke pasar dekat komplek seminggu sekali, membeli daging dan ikan dalam jumlah banyak. Sebenarnya sepasang suami-istri ini tak mengganggu warga, hanya saja kucing-kucing mereka itu selalu bikin onar. Sebagian dari mereka sering masuk ke rumah warga dan mencuri makanan, yang lainnya mengacak-acak taman dengan membuang kotoran disana. Dan yang lebih mengganggu, kucing-kucingnya itu tak pernah diam, mereka seperti tak tidur berhari-hari. Tiap malam selalu mengeong, entah kelaparan entah sedang dizinahi tuannya. Oleh karena itu warga sekitar bersepakat mengusirnya dari kawasan tempat tinggal dia jika pasutri itu tak segera membuang semua hewan peliharaan mereka. Kabar terakhir yang kudengar, Tuan Fallacia memilih pergi bersama istri dan membawa kucing-kucingnya, mereka tinggal di sebuah rumah tua, di depan komplek, entah apa namanya. Rumahnya yang paling depan.
Kurang lebih seperti itu cerita
Rois, mantan tetangga mereka yang tiba-tiba meninggal kena busung lapar.
Tubuhnya tinggal tulang, gigi-giginya tumbuh lebih maju hingga lewat batas
bibir. Padahal Rois dikenal sebagai buruh yang penghasilannya cukup untuk
menghidupi dirinya sendiri. Rois juga tak menikah dan tak punya anak, kedua
orang tuanya sudah lama mati. Ia hanya sebatang kara dan tak terbebani apapun.
Beberapa warga menduga-duga bahwa Rois dikutuk kucing-kucing peliharaan Tuan
Fallacia, karena ia salah satu yang paling bersemangat mengerahkan warga untuk
membenci dan mengusir lelaki yang malang itu—jika tak mau disebut aneh.
Aku menyeruput sedikit kopiku yang
sudah dingin, sedingin angin yang tiba-tiba saja hinggap di keseluruhan tengkuk
dan pergelangan tangan.
“Kurasa kita tak boleh sembarangan
menulis kisah hidup Tuan Fallacia,” kataku kepada Mey.
“Tentu saja tidak. Kita merangkum
keseluruhan cerita orang dekatnya,” jawab Mey.
“Tapi cerita-cerita itu belum tentu
benar. Sudah berapa narasumber yang diceritakan mati setelah memberikan
informasi?”
“Itu hanya akal-akalan warga saja.
Tak ada yang mati, apalagi matinya karena dibunuh setan kucing. It’s a stupid
joke!”
“Tapi..”
“Rhea, kita tetap akan menuliskan
kisah ini dengan horor, sangat horor!” Mey terlihat bersemangat.
Ah!
Semua wartawan majalah misteri memang begitu, seenaknya saja mengutak-atik
hidup orang lain tanpa berdasarkan kebenaran. Itulah sebabnya aku resign dari
tempat kerjaku, dan sekarang bekerja sebagai teller di salah satu Bank Swasta.
Semenjak perdebatan kecil kami hari
itu, Mey tak pernah lagi menghubungiku. Sahabat sekaligus mantan rekan kerjaku
itu mungkin benar-benar marah. Pagi ini aku kedatangan nasabah yang sangat
aneh, ia menabungkan uangnya senilai 666.000 rupiah. Bukan soal nominal uang
itu yang dipercaya banyak orang sebagai angka kematian, tapi penampilan si
nasabah ini yang aneh. Ia pria tua berpakaian serba hitam, berkatamata bulat
yang disekitar bingkainya berwarna kuning, pertanda barang itu sangat antik. Ia
menghampiriku setelah kami mendengar nomor antriannya disebutkan. Aku
menyapanya seperti biasa dan ia hanya menatapku tanpa senyum, tanpa kebencian,
tanpa perasaan sedih atau apapun. Aku sendiri bingung bagaimana meng-ekspresikan
wajahnya atau menebak apa yang sedang ia pikirkan. Pria itu menyerahkan
sejumlah uang dan buku tabungan, aku memprosesnya, selesai lalu mengucapkan
terimakasih. Ia masih diam sampai akhirnya tangan kanannya meletakkan sebuah
majalah di mejaku, lalu pergi.
Tuan Fallacia meninggal di rumahnya pada
Kamis malam, tepat di usia ke-66. Tak ada yang datang melayat, tak ada bunyi
toa yang digaungkan untuk menyampaikan berita duka. Kamar itu benar-benar
sunyi. Kucing-kucing yang biasanya berisik kini seperti kehilangan lidahnya.
Mereka berkumpul melingkari mayat tuannya, menangis hingga menitikkan air mata.
Nyonya Fallacia yang melihat itu merasa malu, bagaimana kucing-kucing bisa sangat
berduka, sementara ia, istrinya, tak mampu menangis setulus itu.
Tak ada yang tahu apa yang terjadi
setelahnya. Menurut cerita warga, mereka kerap melihat Tuan Fallacia berdiri di
depan rumahnya sambil menggendong seekor kucing, tubuhnya segar, tak terlihat
bahwa ia sedang sakit. Tuan Fallacia juga sering terlihat sedang duduk
berbincang dengan sesuatu. Seorang warga melihatnya. Rumah itu dalam keadaan
terang dengan gorden jendelanya warna putih, jadi apapun yang terjadi dibalik
jendela pasti akan sangat jelas terlihat dari luar.
Sebuah kabar burung mencuat lagi ke
permukaan. Mereka bilang, Tuan Fallacia memang sudah meninggal dan mayatnya
diawetkan oleh istrinya sendiri. Perempuan yang juga misterius itu sangat
mencintai suaminya, dan terpaksa mencintai kucing-kucing peliharaan suaminya.
Jika ada yang mati, ia akan mengawetkannya, membiarkan hewan-hewan itu kaku
bergelimpangan di ruang tamu, meja makan atau di dapur.
Sebuah kabar lain menyebutkan bahwa Tuan
Fallacia bangkit pada malam-malam tertentu, ia menjerit kesakitan ketika
malaikat kematian sedang mencabut nyawanya. Malaikat itu datang berkali-kali,
karena nyawa Tuan Fallacia ternyata tak cuma satu, melainkan sembilan.
Aku
terdiam.
Udara
dingin hinggap ke keseluruhan kepalaku. Artikel ini belum selesai. Mey tidak
menyelesaikannya.
Degup
jantung berdetak cepat, bahkan terasa sampai ke pergelangan tanganku. Suara
langkah kaki yang lalu lalang seperti mengiramakan sebuah lagu. Di depanku,
staf-staf yang sedang beristirahat untuk makan siang saling menjentikkan
gelas-gelas mereka, semuanya berpakaian serba hitam. Suara tawa terdengar
satu-satu dan berganti-gantian, menjadi gema yang mengerikan. Kami sedang
melakukan perayaan, untuk seseorang yang baru saja mati.
Ini baru cerita MISTERI :) - @momzsky
BalasHapusTerimakasih. Aku masih belajar menulis, Kak :)
BalasHapus