Kamis, 27 Desember 2012

Sembilan belas tahun yang lalu,


       seorang perempuan bersiap melepas kepergian suaminya. Di teras itu, di pelataran rumah yang selalu bersih dari gugur daun-daun, ia belum berhenti menangis, air mata yang seharusnya tercurah bersama kata-kata yang keluar dari bibirnya, kata-kata yang berbunyi, "Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku. Tetaplah disini,". Namun, ia tak menyuarakan itu. Doktrin sebelum pernikahan membuatnya rela-mau-tak-mau mengizinkan suaminya pergi tugas, sebagai kewajiban seorang abdi negara.

 "Ayah akan pulang sebelum anak kita lahir, kan?"

 "Insya Allah, ya, Bun. Semoga urusannya cepat selesai."

Darta mencium kening istrinya, bibirnya gemetar, gemuruh di dadanya bahkan tak redam oleh berkali-kali pelukan.
Istrinya itu sedang hamil tua, beberapa minggu lagi melahirkan. Tapi ia bisa bisa berbuat apa-apa, karena kepergiannya itu atas nama negara.


***

       Seminggu berlalu tanpa kabar, tanpa komunikasi. Hanya deretan doa tak putus yang dikirimkan Mulan untuk suaminya. Setiap malam ia bertarung melawan rasa kantuknya, mengabaikan ngilu yang mendera sekujur perutnya, ia berdoa di keheningan sepertiga malam--semata-mata untuk suaminya, memohon keselamatan.


***


      Di ruang nifas, ia telah melewatkan waktu-waktu maha nyeri. Anak keduanya lahir dengan sehat. Keluarga dan rekan-rekan kerja berdatangan, melihat ia dan bayinya. Sekelompok orang-orang itu berusaha tersenyum, sementara hati mereka dirundung kesedihan.
Dengan mata berkaca-kaca, nenek dari bayi itu berkata, "Mulan, kamu istirahat dulu, ya. Kamu mau makan apa, nanti Ibu belikan."

  "Tidak, Bu. Aku ingin membagi kebahagiaanku dengan orang-orang yang datang melihat."

 "Tapi kamu sangat lelah."

 "Lelah itu sudah hilang sedari tadi. Kapan Mas Darta pulang ya, Bu? Dia pasti senang melihat anak laki-lakinya sehat seperti ini."

Di sekitarnya, hiruk-pikuk ucapan selamat tak henti terdengar. Kado-kado bergelimpangan di atas meja dan sofa. Mulan sangat bahagia karena begitu baik orang-orang terhadapnya, banyak teman-teman suaminya yang datang, bahkan ruang rumah sakit ini sudah terlampau sesak menampung mereka semua.
Seorang komandan angkatan darat menyalip lewat desakan penjenguk lainnya, ia duduk tepat di sudut tempat tidur sambil menggenggam tangan Mulan.

 "Selamat ya, atas kelahiran bayinya," laki-laki itu tersenyum, lama, ia tak mampu menyudahi lengkung bibirnya.

 "Terimakasih, komandan."

Satu persatu penjenguk keluar dari ruangan itu, tersisa Mulan, Ibunya dan sang komandan. Diluar, suara hiruk-pikuk tak berhenti. Bunyinya terdengar seperti gaduh peperangan.

 "Mulan..," komandan Arya buka mulut.

 "Ya."

 "Maaf. Berat bagi kami untuk mengatakan ini..," suara Arya tercekat, ia menatap Mulan gemetar.
 
   "Darta.."

Belum selesai komandan Arya berkata-kata, Mulan sudah menangis. Air mata hangat mengalir membasahi keseluruhan wajahnya, air mata yang menjadi sungai, air mata yang menenggelamkan ia pada kesedihan yang dalam--yang tak terjamahi dasarnya. Suasana di ruangan itu mendadak muram, mencekap, bunyi detak jantung penghuninya terdengar hingga ke telinga yang lain.

  "Suamimu telah gugur, Sayang," komandan Arya melanjutkan, ia mengusap lembut kepala lawan bicaranya. "Suamimu gugur sebagai pahlawan..," komandan Arya diam, ia tak bisa merangkai kalimat yang seharusnya.

Ia diam.
Seisi ruangan hening.
Hanya terdengar isak Mulan yang beradu dengan suara detik jam dinding, juga detak jantung mereka.


***


Tuhan, jika ini memang takdir yang baik, tolong jaga kami. Karena setelah ini, aku akan melewatkan hari-hari yang berat.
Berikan aku kekuatan untuk membesarkan kedua putraku.
Berikan aku ketabahan dan kesabaran.
Dan tolong, berikan tempat yang paling indah untuk suamiku.
Jangan pernah hapus ingatannya.
Jangan pernah buat ia lupa.
Disini, ada orang-orang yang tak berhenti mencintainya.
Ada orang-orang yang tak pernah lelah menunggunya datang.
Ada orang-orang yang selalu merindukan, setiap detik, setiap kali ia bernapas.
Ada orang-orang yang selau berdoa untuknya, untuk kebahagiaanya.

Share:

0 komentar:

Posting Komentar