Ini
hari ke-sepuluh, sejuta detik setelah kita berjabat tangan pertama kali di
sebuah taman yang kau buat sendiri. Taman itu seperti surga ciptaanmu, luas
memelihara puluhan jenis pohon berbuah, ratusan bunga warna-warni. Aku beruntung,
menjadi perempuan kedua yang menginjakkan kaki ke dalamnya. Di atas kepalaku,
segumpalan awan biru beriringan, seperti menebar senyum khas paling hangat.
Matahari menyembul malu-malu, enggan membakar kulitku dengan panas cahayanya.
Dan beberapa kupu-kupu terbang dengan liar, berputar-putar sepagian, mencari
tanah yang paling nyaman untuk mengugurkan sayapnya.
Aku
terperangkap di hari itu, hari dimana satu-persatu keceriaan mulai tumbuh dalam
dadaku. Aku tak menyesal menghabiskan hari-hariku untuk menghitung detik demi
detik kenangan yang membahagiakanku—bersamamu. Aku jatuh cinta, kepada kau,
yang tak mencintaiku. Ya. Aku jatuh cinta kepada seseorang yang terjebak dalam
tamannya sendiri, dalam keindahan yang tak mau ia lepas. Padahal keindahan itu
hanyalah sehamparan tanah penuh bunga-bunga yang begitu luas, yang kau sebut
masa lalu. Mereka tumbuh subur dalam dadamu, menjadi kota yang hanya kau
sendiri hidup di dalamnya.
Aku
jatuh cinta, kepada kau yang begitu setia menunggui kekasihmu pulang. padahal
ia, mungkin saja sudah berbahagia disana, bersama penggantimu. Atau ia sama
sekali telah melupakanmu.
Aku
jatuh cinta, kepada kau yang terus memelihara masa lalu-mu, mengindahkannya
agar orang yang kau cintai itu kembali, sekedar memetik segar buah-buahan yang
bergantungan di pohon-pohon, atau merebahkan tubuhnya diantara mekar mawar dan
wangi melati.
Dadamu itu, seperti pintu yang
dijaga 2 alaikat kesetiaan, yang tak menerima tamu lain selain kekasihmu.
Padahal aku, mencintaimu. Dan kau terlalu buta karena cinta. Hatimu itu
perasaan paling dingin, tak terjamah cinta yang lain.
Aku mengerti, cinta bukan perasaan
yang bisa dipaksakan.
0 komentar:
Posting Komentar