Kamis, 11 Oktober 2012

Setelah Kepergianmu


Malam adalah waktu-waktu tanpa cahaya, tak berbunyi dan tanpa lagu. Kau pergi, membawa cahaya yang melekat di sepasang matamu, pun segala irama yang biasa kau lantunkan melalui tiap-tiap kata dari manis bibirmu, ikut kau bawa. Kau pergi, tanpa menyisakan satu kenangan, terkecuali ingatan dan rasa sakit.

Pagi menjadi waktu-waktu paling kesepian, dibekukan basah embun yang bergelantungan di bibir daun.  Aku diselimutkan kesedihan yang tak kunjung selesai. Dan dingin, menjadi semut liar yang menggorogoti tiap lekuk tubuhku.

Aku akan memanen ingatan ketika senja, di hadapan langit-langit yang merah marah —menyumpah serapah aku yang tak mampu menghalang kepergianmu--. Bukankah cinta perasaan yang tak dipaksakan?
Gerimis turun, membawa semua ingatan tepat ke atas kepalaku. Mereka bersorak, menyanyikan lagu cinta paling sedih.

Seorang pria dungu
duduk sendiri di bawah senja
matanya nanar menatap
ke sudut-sudut jalan yang berlubang
hanya ia dan waktu-waktu yang mengejek
Adakah cinta dikembalikan,
ketempat dimana ia merasa bahagia?
Share:

Sabtu, 06 Oktober 2012

Tak Pernah Benar


Tiap kali kesedihan berkunjung ke dadaku, aku mendengar seruan yang memanggil-manggil, memaksa kembali.

Kita seringkali menapak di jalan yang salah, yang kita anggap benar. Padahal benar atau salah tak pernah diberitahukan sejak langkah kaki pertama.
Tiba-tiba kita merasa salah, karena perjalanan yang ditempuh —meski dengan gembira-- selalu menghadirkan luka-luka, yang tak pernah kita pahami.
Seperti aku ini, yang meyakini bahwa jalan menujumu adalah sebaik-baiknya takdir yang Tuhan tuliskan.
Aku menghabiskan sebagian hari-hariku, masuk ke dalam labirin yang tercipta begitu saja di tiap jengkal tubuhmu. Dan hatimu itu, kota paling sulit kutemui.

Aku masih berjalan dengan percaya diri, percaya kepada apa yang kuyakini benar: bahwa Tuhan beserta orang-orang yang memperjuangkan kebahagiaannya.
Aku tak pernah letih, meski sesekali beristirahat dan melihat-lihat dengan teliti. Labirinmu ini, seperti surga yang pernah diceritakan ibu, sebagai dongeng pengantar tidur.

Bunga-bunga tumbuh di dalamnya, beberapa sungai meluap-luap, menggemericikkan bunyi air pengusir dahaga. Dan kupu-kupu terbang dengan liar, menjatuhkan serbuk mahawangi dari kepak sayap mereka.

Aku terbuai dengan keindahan yang kau ciptakan. Tapi aku tak lupa, bahwa perjalananku mendambakan tujuan: hatimu.

Namun, sampai di tapak keseribu, kesepuluh ribu atau keberapapun itu —karena aku tak sanggup lagi menghitungnya-- aku tersadar bahwa jalan yang kulalui selalu salah.
Aku benar-benar sadar dan takut,
..
..
lalu biji-bijian yang kau semai itu menyebut-nyebut nama Tuhan.

Aku berjalan di tempat yang salah, mencari tujuan yang tidak seharusnya. Berhari-hari, bertahun-tahun dan itu sungguh menyakitkan.
Padahal ketika aku bertemu denganmu, aku mempercayai bahwa kau adalah yang terbaik yang Tuhan berikan, tapi aku masih saja salah.
Aku tersesat--dalam labirin di tiap jengkal tubuhmu. Hatimu adalah tujuan yang salah, yang sedikitpun enggan menampakkan wujudnya.
Lalu aku menangis, merintih dengan pilu dan tersedu-sedu. Jejalanan ini semakin kuat menyerukan nama Tuhan.

Aku ingin kembali, ke tempat awal dimana Tuhan meletakkanku, memulai kembali perjalanan dengan tujuan yang benar. Namun, keluar dari labirinmu, entah berapa juta kematian kuperlukan.

Share:

Jumat, 05 Oktober 2012

Cinta Seribu Tahun


Mencintaimu, meluruhkan seluruh waku dan usia.

            Aku masih ingat benar, pagi itu, ketika kau memelukku erat-erat, lebih hangat dari cahaya pagi yang biasa hinggap di kulit kita. Kau lemparkan senyum paling manis, sebagai hadiah terakhir untukku.
Diluar mendung, namun hujan enggan turun. Seperti sepasang mataku yang berkaca-kaca, namun tak ingin menjatuhkan hujan di hadapanmu. karena tangisan hanya akan membuat kepedihan semakin bergembira merayakan rasa sakit.

Terkadang, tak perlu alasan bagi sebuah hubungan untuk selesai. Dan itu sungguh menyakitkan.

            Seribu detik berlalu. Entah sudah berapa kali hujan yang jatuh dari mataku, turun sebagai air pesakitan yang jatuh ke dadaku, menyuburkan taman-taman milik kita, dulu. Begitu banyak harapan yang kita tanam disana.

            Pada akhirnya, malam menemukan kita terpisah di ruang masing-masing; aku yang menuliskan kenangan, dan kau yang menghapus wajahku dalam kepalamu. Namun ketahuilah, bagiku, mencintaimu adalah perasaan yang tak pernah selesai, meski harus melewatkan penantian seribu tahun.
Share:

Sebuah Taman


Ini hari ke-sepuluh, sejuta detik setelah kita berjabat tangan pertama kali di sebuah taman yang kau buat sendiri. Taman itu seperti surga ciptaanmu, luas memelihara puluhan jenis pohon berbuah, ratusan bunga warna-warni. Aku beruntung, menjadi perempuan kedua yang menginjakkan kaki ke dalamnya. Di atas kepalaku, segumpalan awan biru beriringan, seperti menebar senyum khas paling hangat. Matahari menyembul malu-malu, enggan membakar kulitku dengan panas cahayanya. Dan beberapa kupu-kupu terbang dengan liar, berputar-putar sepagian, mencari tanah yang paling nyaman untuk mengugurkan sayapnya.

            Aku terperangkap di hari itu, hari dimana satu-persatu keceriaan mulai tumbuh dalam dadaku. Aku tak menyesal menghabiskan hari-hariku untuk menghitung detik demi detik kenangan yang membahagiakanku—bersamamu. Aku jatuh cinta, kepada kau, yang tak mencintaiku. Ya. Aku jatuh cinta kepada seseorang yang terjebak dalam tamannya sendiri, dalam keindahan yang tak mau ia lepas. Padahal keindahan itu hanyalah sehamparan tanah penuh bunga-bunga yang begitu luas, yang kau sebut masa lalu. Mereka tumbuh subur dalam dadamu, menjadi kota yang hanya kau sendiri hidup di dalamnya.

            Aku jatuh cinta, kepada kau yang begitu setia menunggui kekasihmu pulang. padahal ia, mungkin saja sudah berbahagia disana, bersama penggantimu. Atau ia sama sekali telah melupakanmu.

            Aku jatuh cinta, kepada kau yang terus memelihara masa lalu-mu, mengindahkannya agar orang yang kau cintai itu kembali, sekedar memetik segar buah-buahan yang bergantungan di pohon-pohon, atau merebahkan tubuhnya diantara mekar mawar dan wangi melati.
Dadamu itu, seperti pintu yang dijaga 2 alaikat kesetiaan, yang tak menerima tamu lain selain kekasihmu. Padahal aku, mencintaimu. Dan kau terlalu buta karena cinta. Hatimu itu perasaan paling dingin, tak terjamah cinta yang lain.
Aku mengerti, cinta bukan perasaan yang bisa dipaksakan.
Share: