Rabu, 17 Juli 2013

Untukmu yang berulang tahun hari ini,

pukul empat sore,
lebih dari waktu yang cukup untuk merayakan pesta sejak semalaman
tapi kita tidak melakukannya

pukul empat sore,
para tetangga tak kunjung datang
anak-anak yang memakai topi dan membawa balon pun tak ada
kita tidak membagikan undangan
tidak lagi seperti dulu

pukul empat sore,
kau masih sibuk dengan urusan cucian dan dapur
sesekali kau seka peluh di dahimu, pelan-pelan
agar ingatan yang bersembunyi di baliknya tak ikut terhapus

hidup bukan lagi sesuatu yang begitu kita pikirkan,
semenjak kepergian seseorang.

Setelah ini,
barangkali,
ada yang akan terhapus dari ingatan
mungkin juga tidak
sebuah peristiwa:
pukul empat sore, tepat di hari ulang tahunmu, kau kedapatan hadiah dari Tuhan.
Dan kau
menerimanya
dengan lapang dada.

Dengan lapang dada..
Share:

Senin, 18 Februari 2013

Surat Untuk Sahabat

Halo, Appa.
Semoga kebaikan selalu menaungi keseluruhanmu.

Tanpa terasa kita telah melewatkan hari-hari yang panjang, siang-malam yang mengandung suka dan duka. Banyak hal-hal tidak menyenangkan yang menyapa hidup kita, tapi tak sedikit juga kebahagiaan yang datang bertandang. Kita melaluinya berdua, selama dua tahun terakhir. Kamu adalah sahabat yang baik, tidak pernah merepotkan --aku yang selalu mengabaikanmu. Maafkan aku.
Aku sungguh berbahagia. Denganmu, aku merasa cukup, tak sekalipun benar-benar kekurangan meski kadang-kadang kamu mendengar keluhan keluar dari ucapanku. Aku yang menuntut dirimu untuk sempurna, untuk mampu melakukan ini-itu, untuk selalu bisa memuaskanku. Sekali lagi, maafkan aku. Aku tak sepenuhnya serius dengan itu, aku selalu memujamu, aku selalu menghargaimu sebagai sahabatku yang paling baik --yang paling setia.
Kita telah mengarungi hampir keseluruhan kota ini bersama-sama, menghabiskan waktu seolah hanya ada kita berdua, di dunia ini.
Aku bahagia denganmu.
Aku sangat bahagia.

Tapi, kamu tahu, kan, bahwa setiap perjumpaan dan kebersamaan, kita --mau tak mau-- akan sampai di ujung perjalanan, yang mereka sebut perpisahan?
Aku tak begitu yakin inilah waktunya. Memikirkan perpisahan denganmu seperti membiarkan anak-anak kesedihan tumbuh di dadaku, kesedihan yang teramat sangat --yang tak kuasa kuceritakan, tapi mungkin kamu bisa merasakan kepedihan yang sama denganku.
Jika memang perpisahan itu akan segera terjadi, aku harap kamu hidup dengan layak bersama sahabat barumu kelak. Aku ingin kamu bahagia lebih dari ketika kamu bersamaku. Aku ingin kamu selalu terjaga dan baik-baik saja.
Kesedihan, mungkin, adalah salah satu kenangan yang saling kita simpan di dada masing-masing. Rasa pedih itu yang kelak akan mengingatkan kita satu sama lain, ketika rindu dan ingatan tentang hari-hari lalu singgah ke kepala kita.

Surat ini, aku tak mampu menyelesaikannya. Begitu banyak kejadian yang tak bisa aku tuliskan disini, dan pastinya tak mungkin sanggup kamu baca. Biarkan saja semuanya tersimpan di kelu lidah kita, di memori kepala yang hanya kita yang tahu.

Selamat tinggal, ponselku.
Kamu adalah sahabat terbaik.
Mungkin Tuhan menuliskan takdir perpisahan untuk kita, tapi masing-masing perasaan kita telah terikat dengan kuat, menjelma sebuah tali gaib yang tak terlihat, yang tak mampu diputuskan siapapun.
Selamanya, kita akan saling terhubung.
Selamanya..
Share:

Minggu, 20 Januari 2013

Menanti Lamaran


            Sepasang kostum serba putih sudah kusiapkan sejak jauh-jauh hari, beberapa tangkai mawar yang sudah diawetkan juga telah selesai kugantungi pada tiap-tiap dahan di beberapa pohon kawasan ini. Aku ingin orang-orang itu tahu bahwa akan ada perayaan disini, akan diselenggarakan sebuah pesta yang sangat romantis—melebihi seluruh pesta yang pernah terjadi di jagad semesta.
            
            “Kamu mau pakai sarung tangan warna merah atau yang hitam?” kataku pada Brian, ia tersenyum saja, mempercayakan penampilannya padaku. Kupakaikan dia sarung tangan warna hitam, sekilas warna itu hampir sama dengan warna bibirnya yang rusak diracun tembakau.
Aku menatap jam besar yang tegak terpaku di tubuh sebuah pohon yang usianya lebih tua dari usia ular yang hidup disini, jam yang menjadi pengingat kapan Brian harus hidup, atau harus mati kembali.
            
            “Sekarang waktunya..”

             Dentang jam itu bergema sampai ke seluruh pekuburan. Perlahan-lahan tanah di sekitar menggembur, mengeluarkan potongan-potongan tangan yang baunya amis tak tertahankan. Tangan-tangan itu mencengkeram akar-akar tumbuhan untuk menarik keluar bagian tubuhnya yang lain. Dadaku berdebar begitu bergairah, senyum kebahagiaan tersimpul dari bibirku yang sama keringnya dengan bibir Brian. Tak berapa lama, tempat ini sudah dipenuhi para tamu, sekumpulan perempuan bertubuh-kurus-berambut-panjang dengan baju kusam warna darah, anak-anak kecil yang berlarian ceria sambil menyeringai --mata mereka hitam dan buta, juga beberapa laki-laki dewasa bersayap dengan kemaluannya yang besar terjuntai begitu saja tanpa mereka tutupi. Aku menatap ke arah Brian, calon suamiku. Ia terlihat tampan dengan balutan busana serba putih dan bersih.
Aku menunggu.
Aku menunggu.
Menunggu ia segera bangun dari tidur manisnya, dan menghampiriku.

Aku menunggu.

Aku menunggu.

Namun Brian,
ia tak pernah bangun lagi. Ia mati --ia mati lebih dulu sebelum menepati janjinya untuk menikahiku, untuk menjadi Ayah yang baik bagi janin yang bertumbuh sehat di dalam tubuhku.

Brian mati di tangan perempuan yang dihamilinya itu.

            Perawat sialan yang mendengar teriakanku bergegas masuk ke kamar dan menyuntikkan obat bius. Aku melawan, menendang, berusaha memukuli mereka. Aku ingin keluar dari rumah sakit jiwa ini. Aku harus menemui Brian. Dia sedang mempersiapkan pesta kami.
Aku yakin,
dia sedang menunggu.
Share: