Kamis, 26 November 2015

Sebuah Cinta, Yang Baik

Bisakah kau jelaskan ini, Dan?

perihal gemuruh tubuhku yang tak mau redam tiap kali kau mulai menyusun kata-kata, lalu membisikkannya tepat ke dadaku. Aku tak mampu tidak mendengarnya, meski telah kututup kedua telinga, meski sejauh-jauhnya aku berlari menghindarimu. Di dadaku, kata-kata itu yang terus bernyanyi—menumbuhkan segala perasaan yang seharusnya tak tumbuh olehmu.

Bisakah kau jelaskan ini, Dan?

tentang hati kita yang tidak mau berhenti bermain-main,
tentang kita yang tak melarang mereka saling mengenal lebih dalam,
dan kita tak pernah memberi batas. Kedua hati kita sudah terlalu jauh membicarakan cinta, membicarakan perasaannya masing-masing.

Bisakah kau jelaskan ini, Dan..


    Malam itu cuaca semakin dingin, aku menunggui Daniel dengan gelisah di cafe favorit kami, tempat makan yang kini sudah mulai sepi.
    “Maaf, Mas. Kita mau tutup,” ucap seorang karyawan memandang geram ke arahku. Tanpa menjawab, aku bangkit dari kursi, berjalan ke pintu keluar dan berdiri diantara barisan pedagang kaki lima yang semakin hari semakin memenuhi jalanan. Sebagian mereka menunggu pembeli sambil bermain kartu dengan pedagang lain, ada yang sibuk memberesi kiosnya, sebagian lagi terduduk di aspal sambil mengipasi wajahnya, mungkin mengantuk. Aku pun.
    Bip!
    “Maaf, Ndra, aku nggak bisa ketemu kamu malam ini. Anis tiba-tiba telpon dan minta diantar ke dokter. Maaf, ya. Nanti ku SMS lagi.”
Kubaca pesan singkat dari Daniel dengan sedikit menganga, sedikit rasa marah, juga sedikit perasaan sedih. Tapi aku maklum. Aku tipe orang yang sadar diri, aku selalu mengendalikan diriku, aku tahu ini salah. Tapi.., aku tak pernah peduli.

                    ***

    “Sudah tidur?”
    “Seharusnya..”
    “Maaf membuatmu kecewa. Lain kali jika kita ketemu, aku akan membujukmu sampai tidak marah lagi, meski harus menggendongmu keliling taman..”
    “Kamu tidak melakukan apa-apa untukku, Dan. Tidak pernah.”
    “Maaf!”
    Entah ada berapa banyak panggilan tak terjawab. Yang terdengar di telingaku hanya suara-suara penolakan, bunyi-bunyian yang memperbincangkan hubunganku dengan Daniel. Hubungan yang salah, hubungan yang tidak diperbolehkan dalam kitab manapun. Dering ponselku semakin panjang, semakin nyaring, seperti sebuah jeritan yang pilu.

                    ***

    Daniel menggenggam tanganku erat-erat, lebih erat dari seorang bocah yang takut kehilangan balonnya.
    “Tiga bulan yang begitu membahagiakan, ya..,” katanya.
Kutatap wajahnya dekat-dekat, tetap tak ada yang berubah. Sorot matanya, sekumpulan kulit berkerut di sekitar kening, juga sebuah bibir yang tampak kebiruan diracun tembakau.
    “..dan sekarang semuanya berubah, ya,” sambungku.
Daniel menajamkan pandangannya, berusaha membaca kata-kata yang akan kukeluarkan sebentar lagi. Tapi gagal.
    “Ini..”, katanya sambil menyerahkan sekotak kado berbalut kain merah, “aku akan mengantarmu pulang. Begiu sampai di rumah, jangan pernah membuka isinya. Atau kita..”
    “..selesai?” kurasakan ada yang jatuh, setetes air mata.
    “ Aku mencintaimu, Chandra.” Daniel mencium keningku, ada kehangatan yang menjalar tiba-tiba, ada gemuruh yang entah menghancurkan apa, dalam dadaku. Kami berpelukan, seperti sepasang kangguru yang berusaha mencapai pundak masing-masing. Dalam cinta, ada yang tidak bisa diperjuangkan.

                    ***

    Hujan diluar, tidak lebih deras dari jatuh air mataku. Dingin yang masuk dari celah ventilasi juga tidak lebih menusuk dari nyeri yang menjalar di keseluruhanku. Sebuah kotak kado merah, seperti gambaran masa depan. Aku akan segera membuka dan mengetahui isinya. Kulucuti sedikit demi sedikit sampul yang membalut kotak itu, warna merah yang luntur menjadi bercak seperti darah di tanganku. Kuambil selembar kertas dari dalamnya, sebuah undangan pernikahan. Di kertas lain, tertulis,
    “Aku tidak akan menodai cinta kita dengan dosa. Maka dari itu, biarkan kita saling mencintai tanpa memiliki. Cinta yang baik, akan menuntun kita pada jalan yang benar, bukan?”



Ditulis 1 Juli 2013

   



Share:

Selasa, 22 September 2015

Pengorbanan

Ada saat ketika kita harus mengorbankan sesuatu yang kita miliki untuk menolong orang lain --meski kita tak menginginkannya.

Barangkali hidup adalah soal pengorbanan; tentang siapa yang berkorban, untuk siapa kita berkorban dan cerita tentang orang-orang yang selalu membutuhkan pengorbanan orang lain, untuk kepentingannya sendiri.

Pada umumnya, manusia akan berkorban demi manusia lainnya; atas dasar cinta, balas budi, atau karena terpaksa. Dan tidak semua pengorbanan akan mendapatkan timbal-baliknya, dengan kata lain: sia-sia. Juga, tidak semua pengorbanan mempunyai tujuan. Kadang kita berkorban karena kita merasa ingin, terkadang pula kita berkorban karena kita merasa harus melakukannya, tanpa kita mengerti untuk apa pengorbanan itu dilakukan.

Seperti yang sedang saya alami saat ini.

Saya telah berkorban terlalu banyak, memberikan apa yang saya punya, memberikan apa yang mampu saya lakukan. Saya telah berkorban terlalu sering, untuk seseorang yang tidak pernah menganggap itu adalah pengorbanan. Saya telah dipaksa berkorban, berkali-kali, sepanjang 5 tahun terakhir. Dan saya telah terus berkorban untuk-seseorang-yang-tidak-pernah-mengira-bahwa-ini-akan-menjadi-hal-yang-mengubah-hubungan-kami-selamanya ketika pada akhirnya dia menjadikan pengorbanan adalah hal wajib yang harus saya lakukan untuknya. Ketika pada akhirnya dia menggunakan segala cara untuk mendapatkan pengorbanan saya. Ketika pada akhirnya, dan tanpa ia sadari, ia menjadikan dirinya sebagai Ratu, sementara saya hamba --begitulah kemudian kehidupan kami menjadi tidak seperti seharusnya.

Pada suatu hari yang ajaib, dia menyadarkan saya bahwa pengorbanan yang berlebihan akan menyebabkan penyesalan, kekecewaan, rasa sakit --yang tak bisa diobati oleh dokter terbaik dimana pun, juga kerugian, kehilangan perasaan, kehilangan akal sehat. Atau mungkin, hidup memang tak perlu akal sehat. Kita hanya perlu hati untuk menjalani hidup ini. Kita cuma perlu menggunakan perasaan. Pada saat itulah manusia akan hidup dengan sebenar-benarnya hidup sebagai manusia, dengan hati dan perasaan mereka masing-masing.

Saya masih berusaha mengerti, jika selama ini pengorbanan itu membuat saya hilang akal, mengapa saya tak menggunakan hati saya untuk terus berkorban untuknya.

Saya masih belum mengerti.

Saya masih tidak dapat memahami.

Sampai pada tulisan ini dibuat, akhirnya saya mengerti bahwa: seseorang yang merasa kecewa tak hanya akan kehilangan akal sehatnya, tetapi juga akan kehilangan hati dan perasaan terhadap orang yang telah mengecewakannya.

Ya.

Seperti apa yang saya rasakan sekarang.... kepadamu.

Share:

Kamis, 30 Juli 2015

Sepotong Kisah



Panggilan ke-enam dan kamu sepertinya tidak sedang berada di sana --di dekat telepon genggangmu, atau kamu terlalu sibuk sampai tak mendengar ia berdering dan atau kamu mengetahuinya tapi tak kuasa untuk menjawab panggilan dariku. Ada banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi, seperti sekarang ini, ketika tiba-tiba seseorang datang kepadaku, masuk ke dalam hubungan kita.
Dua belas panggilan tak terjawab, tiga SMS berisi ajakan bertemu darimu baru sempat kubaca, terkirim sejak dua jam yang lalu. Aku sedang sibuk berbincang-bincang dengan seseorang yang baru saja kukenal beberapa hari lalu di Facebook. Dia lebih tampan darimu, lebih muda juga, lebih cepat tiba daripada kamu yang selalu berjanji tapi selalu terlambat –bahkan seringkali kamu tidak datang, menghilang begitu saja. Kami makan malam di restoran cepat saji sambil berbincang-binvang soal pekerjaan, tentang teknologi, juga masalah carut-marut pemerintahan di negara ini. Semua seperti aku dan kamu pada 3 tahun yang lalu, terasa nyaman, hangat dan menyenangkan.
Tiga tahun rasanya singkat saja, bagaikan baru kemarin –begitu kata orang-orang. Aku masih ingat benar peristiwa malam itu, hari dimana pertama kalinya kita bertemu, tidak jauh berbeda seperti cerita murahan di FTV anak remaja. Kamu datang lewat jam 12 malam, dan aku menyambutmu dengan perasaan senang bercampur malu-malu. Kemudian kita menelusuri jalanan sepi, singgah ke warung kopi, lalu kembali pulang. Sebelum berpisah, kita masih sempat memberikan pujian-pujian, dan beberapa ciuman. Esok harinya, kita sudah menjadi sepasang kekasih, sampai pada hari ini. Sesingkat itu.
Malam ini kita membuat janji bertemu, kita sudah merencanakannya sejak beberapa hari yang lalu, kita sudah mencatat tujuan mana saja yang akan kita singgahi; ke bioskop, lalu belanja keperluan mandi, kemudian makan kepiting di restoran favorit kita. Namun satu jam sebelum semua itu dimulai, aku mengirimkan pesan singkat berisi, “Maaf, rencana pergi hari ini kita tunda saja, ya. Ibu minta aku temani ke rumah keluarganya, ada hal penting dan harus selesai hari ini juga.”
“Oh. Oke. Besok gimana?”
“Iya. Sorry.”
“Nggak apa-apa. Salam buat Ibu ya.”
Entah bagaimana aku mendeskripsikan kamu, yang jelas, kamu tidak pernah terlihat marah atau kecewa ketika janji-janji bertemu kubatalkan. Kamu tidak pernah memberikan pilihan lain agar kita tetap bisa bertemu meski salah satu dari kita sedang sibuk. Mungkin ini hanya aku dan perasaanku yang terlalu berlebihan, atau aku hanya butuh liburan, atau hiburan.
“BEEP!” sebuah pesan singkat masuk di teleponku, dari seseorang yang baru saja kukenal beberapa hari lalu di Facebook.
            “Hai. Aku di depan rumah kamu, ya.. Jadi temani aku jalan, kan?”
            “Oke. Wait a minute.”
Aku bergegas keluar rumah, menghampiri dia dengan senyumnya yang bahagia.
“We had a beutiful magic love there..
  What a sad beautiful tragic love affair..”
Share:

Sabtu, 11 Juli 2015

Membayangkan Hal-Hal yang Seharusnya Terjadi


Waktu Imsak tersisa tiga puluh menit ketika kami selesai makan sahur. Hari ini giliran Ibu dan adik yang mencuci peralatan makan. Kami memang membagi dua kelompok untuk mengerjakan tugas-tugas rumah. Ibu lebih dekat dengan adik, karena bagi Ibu, adik lebih enak untuk diajak jalan-jalan ke luar rumah, sementara aku lebih senang diam di rumah, menonton serial tv Hannah Montana. Ibu juga menjadi tempat curhat yang nyaman bagi adik. Mereka bahkan lebih akrab dari keakraban antara aku dan Ayah. Tapi bukan berarti hubungan kami tidak baik. Aku dan Ayah saling menyayangi meski pun kami tidak seekspresif itu memperlihatkannya..

Aku dan ayah berbincang di teras rumah, duduk di kursi rotan berumur lebih dari 10 tahun. Ayah membelinya sejak sebelum menikah dengan ibu. Entah mengapa, dia suka sekali duduk disitu. Baginya, kursi rotan itu adalah sahabat karib. Ayah sering menghabiskan waktu sore dengan duduk disana sambil membaca Alquran, kadang ditemani ibu atau secangkir kopi hitam pahit. Duduk di kursi rotan membuat Ayah merasa nyaman, senyaman orang-orang  yang sedang bersantai tanpa memikirkan banyak hal. Ya. Kemudian arti kursi royan tersebut menjadi tidak sepenting itu.

Aku sibuk  dengan smartphone yang kubeli sendiri dari upah berjualan kue bersama ibu, sibuk karena berkonsentrasi dengan obrolan di group BBM kampus dan harus mendengarkan Ayah yang sedang bercerita.. Bagiku bermultitasking seperti itu bukan hal yang terlalu sulit. Oh ya, selain berjualan kue, kami juga melayani catering makanan untuk acara-acara seperti arisan atau pengajian. Sejak kecil aku memang suka memasak, lebih tepatnya bereksperimen dengan makanan. Menciptakan menu-menu unik, terlebih jika menu tersebut dilahap habis oleh Ayah, sungguh menjadi kebanggaan tersendiri bagiku. Itulah alasan mengapa aku tidak ingin menjadi tentara seperti Ayah, aku lebih tertarik bidang kuliner. Untuk informasi, aku adalah anak Akuntansi. Well, you don’t get the point. Entah dimana korelasinya.
Ayah terus saja bercerita, tentang teman sekantornya yang sedang berlibur ke Yogyakarta. Si teman terus mengirimi Ayah foto-foto makanan dan tempat wisata di Yogya melalui Whatsapp. Ayah bilang, nanti dia akan membawa kami liburan ke Yogyakarta kalau dapat cuti tahun depan. Mendengar perkataan Ayah, adik menyahut dari dapur, dia punya kemampuan pendengaran di atas rata-rata manusia normal. Selang beberapa detik mereka sudah duduk bersama kami dengan wajah antusias.

Adzan berkumandang. Setelah selesai sholat berjamaah, aku memposting sebuah foto ke Instagram, gambar Ayah dan adik dengan peci hitam putih favorit mereka sedang mengapit Ibu yang tampak cantik dibalut mukenah berwarna emas. Aku duduk di depan mereka mengambil foto selfie, seperti biasa, dengan pose yang paling membuat Ibu kesal: tertawa sambil menjulur lidah. Di foto itu kutulis caption, “After subuhan! Semoga Tuhan selalu melimpahkan kebahagiaan untuk kita semua-sekeluarga. Happy fasting, people!”




Kebahagian..,
harusnya sesederhana itu.

Tetapi ia menjadi begitu sulit..,


setelah kami kehilangan Ayah.

Share:

Kamis, 04 Juni 2015

Yang Sedang Terjadi

Menuliskan ini, seperti mengingat hari-hari 2 tahun ke belakang, mengingat banyak kenangan; mengingat perayaan-perayaan, mengingat kebahagiaan sekaligus duka. Mengingat kamu.
Aku percaya kisah yang sedang kita jalani ini bukanlah seperti drama korea yang digemari banyak orang, bukan sesuatu yang sengaja kita persulit tanpa kita pahami tujuannya. Ini lebih rumit dari sekedar drama yang terjadi dalam hubungan percintaan. Ini adalah sebuah tindakan: tentang bertahan atau pergi.
Sudah bukan saatnya bagi kita untuk membicarakan apa dan siapa yang salah, bukan lagi waktunya untuk saling menceritakan secara mendetail "apa yang saya suka dan apa yang kamu tidak suka". Kita sudah dewasa untuk menyadari perihal apa saja yang terjadi, kita sudah mampu berpikir tentang apa yang seharusnya kita lakukan, tentang tanggung jawab, tentang bagaimana bersikap seperti selayaknya dua orang yang mempunyai hubungan.
Jika saat ini salah satu dari kita memilih untuk pergi, bukan berarti aku atau kamu tidak punya alasan. Hanya saja, sesungguhnya, alasan itu telah kita ketahui bersama. Mungkin ini yang disebut ketidak-cocokan, ketidak-cocokan untuk bersama-sama lagi.
Mencari alasan yang tepat untuk berpisah bukanlah hal yang sulit, tapi juga bukan hal yang mudah. Kita menjadi bingung bagaimana harus mengatakannya, bagaimana seharusnya memperbaiki --yang-sebenarnya-bisa-saja-aku-atau-kamu-perbaiki. Masalahnya adalah: mau atau tidak. Atau barangkali kita memang tidak perlu alasan, sama hal-nya ketika pertama saling jatuh cinta: tidak satu pun dari kita yang menjelaskan bagaimana aku bisa mencintaimu, bagaimana kamu bisa mencintaiku.
Terkadang, hubungan memang akan berakhir seperti sebuah tulisan --yang-tidak-ada-ujungnya, menggantung begitu saja.
Share:

Rabu, 17 Juli 2013

Untukmu yang berulang tahun hari ini,

pukul empat sore,
lebih dari waktu yang cukup untuk merayakan pesta sejak semalaman
tapi kita tidak melakukannya

pukul empat sore,
para tetangga tak kunjung datang
anak-anak yang memakai topi dan membawa balon pun tak ada
kita tidak membagikan undangan
tidak lagi seperti dulu

pukul empat sore,
kau masih sibuk dengan urusan cucian dan dapur
sesekali kau seka peluh di dahimu, pelan-pelan
agar ingatan yang bersembunyi di baliknya tak ikut terhapus

hidup bukan lagi sesuatu yang begitu kita pikirkan,
semenjak kepergian seseorang.

Setelah ini,
barangkali,
ada yang akan terhapus dari ingatan
mungkin juga tidak
sebuah peristiwa:
pukul empat sore, tepat di hari ulang tahunmu, kau kedapatan hadiah dari Tuhan.
Dan kau
menerimanya
dengan lapang dada.

Dengan lapang dada..
Share:

Senin, 18 Februari 2013

Surat Untuk Sahabat

Halo, Appa.
Semoga kebaikan selalu menaungi keseluruhanmu.

Tanpa terasa kita telah melewatkan hari-hari yang panjang, siang-malam yang mengandung suka dan duka. Banyak hal-hal tidak menyenangkan yang menyapa hidup kita, tapi tak sedikit juga kebahagiaan yang datang bertandang. Kita melaluinya berdua, selama dua tahun terakhir. Kamu adalah sahabat yang baik, tidak pernah merepotkan --aku yang selalu mengabaikanmu. Maafkan aku.
Aku sungguh berbahagia. Denganmu, aku merasa cukup, tak sekalipun benar-benar kekurangan meski kadang-kadang kamu mendengar keluhan keluar dari ucapanku. Aku yang menuntut dirimu untuk sempurna, untuk mampu melakukan ini-itu, untuk selalu bisa memuaskanku. Sekali lagi, maafkan aku. Aku tak sepenuhnya serius dengan itu, aku selalu memujamu, aku selalu menghargaimu sebagai sahabatku yang paling baik --yang paling setia.
Kita telah mengarungi hampir keseluruhan kota ini bersama-sama, menghabiskan waktu seolah hanya ada kita berdua, di dunia ini.
Aku bahagia denganmu.
Aku sangat bahagia.

Tapi, kamu tahu, kan, bahwa setiap perjumpaan dan kebersamaan, kita --mau tak mau-- akan sampai di ujung perjalanan, yang mereka sebut perpisahan?
Aku tak begitu yakin inilah waktunya. Memikirkan perpisahan denganmu seperti membiarkan anak-anak kesedihan tumbuh di dadaku, kesedihan yang teramat sangat --yang tak kuasa kuceritakan, tapi mungkin kamu bisa merasakan kepedihan yang sama denganku.
Jika memang perpisahan itu akan segera terjadi, aku harap kamu hidup dengan layak bersama sahabat barumu kelak. Aku ingin kamu bahagia lebih dari ketika kamu bersamaku. Aku ingin kamu selalu terjaga dan baik-baik saja.
Kesedihan, mungkin, adalah salah satu kenangan yang saling kita simpan di dada masing-masing. Rasa pedih itu yang kelak akan mengingatkan kita satu sama lain, ketika rindu dan ingatan tentang hari-hari lalu singgah ke kepala kita.

Surat ini, aku tak mampu menyelesaikannya. Begitu banyak kejadian yang tak bisa aku tuliskan disini, dan pastinya tak mungkin sanggup kamu baca. Biarkan saja semuanya tersimpan di kelu lidah kita, di memori kepala yang hanya kita yang tahu.

Selamat tinggal, ponselku.
Kamu adalah sahabat terbaik.
Mungkin Tuhan menuliskan takdir perpisahan untuk kita, tapi masing-masing perasaan kita telah terikat dengan kuat, menjelma sebuah tali gaib yang tak terlihat, yang tak mampu diputuskan siapapun.
Selamanya, kita akan saling terhubung.
Selamanya..
Share: