Minggu, 17 Oktober 2010

Boneka Tante


"Kematian adalah sepetak ruang sempit bagi orang - orang yang tak mau hidup repot." Ayah terus meracau. Ibu kini diam memperhatikan, berjaga - jaga. Ia sudah lelah bertindak. Mati sudah semangatnya.
Semenjak Tante pulang dari Jawa dan mendadak senang bermain Barbie, Ayah jadi sering kalap. Kadang - kadang, ia sibuk mengukur tali tambang. Kadang pula, gigi palsunya pun berusaha ia telan, tapi tak berhasil.
Tante semakin sering ke rumah kami dengan alasan prihatin atas tingkah laku Ayah yang makin hari terlihat semakin aneh dan menyedihkan. Seperti biasa, sebuah Boneka Barbie selalu ada dalam tas kulitnya. Aku pernah mengintip, kulihat Barbie itu kepalanya miring. Tangannya bengkok - bengkok. Begitu juga kakinya. Banyak bekas sayatan di wajah dan tubuhnya. Aku sangat heran mengapa Tante sangat memuja Barbie-nya.
Hampir tiap Minggu, ia bawakan kami makanan - makanan enak. Ibuku hanya seorang Ibu rumah tangga tanpa kerjaan. Kami sangat kekurangan. Ibu adalah perempuan yang malas. Sehari - hari hanya sujud di sajadah merah kesayangannya saja. Begitu yang kulihat, dari subuh hingga larut malam. Kadang ia menangis, matanya sampai sembab. Sudah membengkak.
Pada satu malam, Tante menginap di rumah kami. Sama sekali tak ada yang menghargainya, kecuali aku. Ayah sibuk mondar - mandir, berdengung - dengung. Ibu masih saja di sajadahnya. Kasihan, Tante. Aku harus menemaninya. Dia sangat baik kepadaku dan juga keluargaku. Belum pernah aku temui orang se-perhatian seperti dia. Malam larut, Tante sudah masuk kamar. Aku tak bisa tidur. Mungkin mengobrol dengannya dapat membantu membunuh insomnia-ku. Aku berjalan menuju kamar Tante, pintunya terbuka. Mendadak, sesuatu menahanku. Langkahku teramat berat. Aku melihat Tante disana sedang bermain Barbie. Inginku menyapa, tapi mulutku seperti terjahit. Kaki - kakiku juga masih tertanam di keramik. Aku melihat dan diam. Tak lama, kudengar suara cekikikan Ibu dari kamar. Aku ingin pergi, dan tetap saja tubuhku membatu. Tante masih memainkan Barbie-nya, membersihkannya mungkin. Ia memutar - mutar tangan Barbie, seketika di kamar sana Ibu berteriak. Sakit sepertinya. Tante masih saja bermain - main. Kini giliran kepala Barbie yang ia putar - putar. Ibu menjerit lagi. Aku hanya diam saja, bingung dengan mimpiku. Tak lama, Tante beranjak dari tempat duduknya. Ia menuju Spring Bed dan sepertinya akan tidur. Tubuhku mulai terbata - bata. Aku jalan pelan - pelan masuk ke kamar Tante. Kuambil boneka Barbie-nya, lalu kembali lagi ke kamarku. Aku berpikir sejenak. Kutatap wajah Barbie yang penuh sayatan. Matanya merah. Aku kaget! Seketika ku campakkan Barbie keluar jendela dari kamarku di lantai 2.
Aku mengambil napas, dalam. Belum sempat menghembuskan kembali, tiba - tiba suara seperti karung beras yang jatuh dari ketinggian memekakan telingaku. Aku beranjak, mengintip ke luar jendela. Seorang laki - laki terkapar di bawah sana. Kepalanya hancur dengan darah di sekitarnya. Tangannya bengkok - bengkok, begitu juga kakinya. Ayah melompat dari atap rumah!
Ibu menjerit lagi. Tante terbangun, keluar dari kamarnya. Berdiri di muka pintu dengan keadaan rambut yang masih acak - acakan. Ia menggaruk - garuk kepala, lalu menguap. Matanya masih sayu. Ia tampak begitu lugu.
Share:

4 komentar:

  1. Wah ceritanya sangat teras nyata sob..
    o.ya...ini kisah nyata atau hanya karangan....he..he..he...

    BalasHapus
  2. Kisah ini nyata dalam catatan hidup seorang Schizophrenia.

    BalasHapus
  3. this one is a litle bit horror n tragic for me...
    but,, over all it's cool...^^

    BalasHapus
  4. thank you, Devi. Aku masih mencari bonekanya. Semoga kutemukan..

    BalasHapus