Sepasang
kostum serba putih sudah kusiapkan sejak jauh-jauh hari, beberapa tangkai mawar
yang sudah diawetkan juga telah selesai kugantungi pada tiap-tiap dahan di
beberapa pohon kawasan ini. Aku ingin orang-orang itu tahu bahwa akan ada
perayaan disini, akan diselenggarakan sebuah pesta yang sangat
romantis—melebihi seluruh pesta yang pernah terjadi di jagad semesta.
“Kamu mau pakai sarung tangan warna
merah atau yang hitam?” kataku pada Brian, ia tersenyum saja, mempercayakan
penampilannya padaku. Kupakaikan dia sarung tangan warna hitam, sekilas warna
itu hampir sama dengan warna bibirnya yang rusak diracun tembakau.
Aku
menatap jam besar yang tegak terpaku di tubuh sebuah pohon yang usianya lebih
tua dari usia ular yang hidup disini, jam yang menjadi pengingat kapan Brian
harus hidup, atau harus mati kembali.
“Sekarang waktunya..”
Dentang
jam itu bergema sampai ke seluruh pekuburan. Perlahan-lahan tanah di sekitar menggembur, mengeluarkan potongan-potongan tangan yang baunya amis
tak tertahankan. Tangan-tangan itu mencengkeram akar-akar tumbuhan untuk
menarik keluar bagian tubuhnya yang lain. Dadaku berdebar begitu bergairah, senyum kebahagiaan
tersimpul dari bibirku yang sama keringnya dengan bibir Brian. Tak berapa lama, tempat ini sudah dipenuhi para tamu, sekumpulan perempuan bertubuh-kurus-berambut-panjang
dengan baju kusam warna darah, anak-anak kecil yang berlarian ceria sambil menyeringai --mata mereka hitam dan buta, juga beberapa laki-laki dewasa bersayap dengan kemaluannya yang besar terjuntai begitu saja tanpa mereka tutupi. Aku menatap ke
arah Brian, calon suamiku. Ia terlihat tampan dengan balutan busana serba putih
dan bersih.
Aku
menunggu.
Aku
menunggu.
Menunggu ia segera bangun dari tidur manisnya, dan menghampiriku.
Aku
menunggu.
Aku
menunggu.
Namun Brian,
Namun Brian,
ia tak pernah bangun lagi. Ia mati --ia mati lebih dulu sebelum menepati janjinya untuk
menikahiku, untuk menjadi Ayah yang baik bagi janin yang bertumbuh sehat di dalam tubuhku.
Brian mati di tangan perempuan yang dihamilinya itu.
Brian mati di tangan perempuan yang dihamilinya itu.
Perawat sialan yang mendengar
teriakanku bergegas masuk ke kamar dan menyuntikkan obat bius. Aku melawan,
menendang, berusaha memukuli mereka. Aku ingin keluar dari rumah sakit jiwa
ini. Aku harus menemui Brian. Dia sedang mempersiapkan pesta kami.
Aku yakin,
dia
sedang menunggu.